(Penulis: Ustadz Abu Hisyam Sufyan)
Image by Mohamed Hassan from Pixabay
Syariat Islam memang syariat yang sempurna. Bagaimana tidak, syariat ini dibuat oleh Allah yang paling mengerti siapa kita. Sehingga, segala permasalahan yang pasti akan dihadapi dan dibutuhkan oleh manusia, maka Allah pun mengajarkan melalui Rasul-Nya hal-hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaannya. Termasuk dalam permasalahan utang. Ya, Allah mengetahui bahwa manusia dalam memenuhi hajat hidupnya terkadang membutuhkan pinjam meminjam atau berutang. Maka Allah pun mengajarkan kepada kita hal-hal yang harus diperhatikan dalam permasalahan utang dan pinjaman. Tentu pembahasannya sangatlah panjang.
Secara umum, Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pinjam meminjam dalam surat Al-Baqarah ayat 282. Ayat tersebut – yang merupakan ayat terpanjang dalam al Qur’an – menjelaskan beberapa hal yang harus diperhatikan oleh orang-orang yang menjalani utang piutang.
Agama Islam sangatlah menjunjung tinggi akhlak mulia. Tidak ada satu akhlak mulia pun yang terluput dari anjuran Islam. Termasuk akhlak mulia dalam hal transaksi utang piutang. Nah di antara pembahasan yang disampaikan oleh Allah dan Rasul-Nya ialah bahwa hendaknya orang yang diutangi memiliki sifat memudahkan orang yang ia utangi.
Baik ketika memberikan piutangnya ataupun ketika menagihnya. Ya, Islam mengajarkan para pengikutnya untuk bisa memudahkan dan tidak mempersulit orang-orang yang memang sedang membutuhkan.
Ketika ia mendatangi kita untuk melunasinya dan ia dalam keadaan lapang, alhamdulillah, kita terima darinya yang menjadi hak kita tanpa mempersulitnya dengan memberikan persyaratan yang memberatkannya. Dan juga dengan bertekad untuk tidak mengungkit-ungkitnya lagi kelak. Ketika kita dapati ia dalam keadaan sulit yang berarti ia tidak mungkin mampu melunasi utangnya, maka wajib baginya untuk memberikan kemudahan dengan memberikannya tenggang waktu pelunasan. Atau bahkan lebih utama lagi jika dia menggugurkan tanggungannya.
Para ulama rahimahullah berpendapat bahwa menangguhkan waktu pelunasan bagi orang yang memang sedang dalam kesulitan hukumnya ialah wajib. Kesimpulan ini diambil berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala
وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ
yang artinya, ”Dan jika ia adalah seseorang yang sedang kesulitan maka berilah penangguhan hingga ia diberi kemudahan oleh Allah. Dan jika kalian sedekahkan maka itu lebih baik dari kalian.” (QS. Al Baqarah: 280).
Pada ayat di atas Allah memerintahkan agar kita memberikan masa tenggang waktu pelunasan kepada orang yang berutang kepada kita. Jika ia benar-benar dalam keadaan yang sulit. Allah juga memotivasi kita untuk menyedekahkan hak kita kepadanya. Baik dengan cara kita gugurkan seluruh tanggungannya – dan ini lebih mulia – atau kita gugurkan sebagiannya.
Mengenai hal ini, suatu kisah menarik pernah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam ceritakan. Yang tentu kisah yang beliau sampaikan ini agar kita bisa meniru apa yang terjadi dalam kisah tersebut. beliau menceritakan.
“Ada salah seorang dari orang-orang terdahulu yang dihisab oleh Allah. Ternyata tidak didapati darinya satu kebaikan sama sekali. Hanya saja, ia adalah seorang laki-laki yang suka memudahkan. Dia adalah seorang yang bergaul dengan manusia. Ia selalu memerintahkan para pegawainya untuk membebaskan tanggungan utang orang-orang yang sedang dalam kesulitan. Maka ketika itu, Allah pun berfirman kepada para malaikat-Nya, ‘Kami lebih pantas darinya (untuk melakukan hal yang semisal), bebaskan dia (dari tanggungan dosanya)!’ “ (HR. Muslim dari shahabat Abu Mas’ud radhiallahu anhu).
Dalam lafazh lain, beliau shalallahu alaihi wa sallam menuturkan bahwa dahulu ada seseorang yang suka memberi utang kepada manusia. Ia selalu berkata kepada pegawainya, “Kalau kamu menagih seseorang yang sedang kesulitan, maka bebaskanlah utangnya, semoga Allah juga kelak akan membebaskan kita (dari dosa-dosa kita). Maka ketika ia berjumpa dengan Allah, maka Allah pun benar-benar membebaskannya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah).
Dalam lafazh yang lain pula, beliau shalallahu alaihi wa sallam bercerita bahwa di hari kiamat:
“Allah akan mendatangkan salah seorang dari hamba-hamba-Nya yang ia berikan padanya nikmat harta. Maka Allah bertanya, ‘Apa yang kau lakukan dengan hartamu di dunia?’ Dan ketika itu manusia tidak bisa menutup-nutupi perbuatannya dengan ucapannya. ‘Wahai Rabb, sungguh, Engkau dahulu memang telah memberikan (sebagian) harta-Mu padaku. Dulu, aku sering memberi utang dan pinjaman kepada manusia. Dan di antara sifatku ialah suka memudahkan. Aku selalu memudahkan orang yang sedang dalam keadaan lapang dan aku memberi tangguh kepada yang kesulitan (yakni tidak memaksa)’ Allah pun berfirman, ‘Kalau begitu, Aku yang lebih berhak melakukan yang demikian daripada kamu, bebaskanlah hamba-Ku’.” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah radhiallahu anhu).
Dari kisah-kisah di atas, dapat kita ambil kesimpulan mengenai keutamaan sifat memudahkan dalam menagih utang. Ternyata hal tersebut bisa menjadi sebab masuknya seseorang ke dalam surga. Memberi kemudahan dalam menagih utang bisa dengan menggugurkannya, atau bisa dengan meringankannya, atau memberi tangguh waktu.
Bahkan dalam hadits yang lain, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam memberikan kabar gembira bahwa orang ini berhak bernaung di bawah naungan ‘Arsy Allah kelak. Ya, sebagaimana berita dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bahwa kelak matahari akan didekatkan oleh Allah sedekat-dekatnya. Panas yang sangat menyengat. Yang tentu sebuah naungan adalah sesuatu yang paling dicari dan dibutuhkan oleh manusia ketika itu. Ketika itu tidak ada naungan satu pun selain naungan ‘Arsy Allah. Dan ternyata naungan ini tidak diperuntukkan untuk khalayak ramai. Bahkan naungan ini Allah peruntukkan untuk orang-orang tertentu yang Ia ridhai dan Ia pilih. Di antara mereka yang Allah pilih, ialah orang-orang yang suka memudahkan dalam menagih utang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ لَهُ أَظَلَّهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تَحْتَ ظِلِّ عَرْشِهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ
“Barang siapa yang mau memberi tangguhan kepada orang yang sedang kesulitan atau bahkan membebaskannya, maka Allah akan menaunginya di bawah naungan ‘Arsy-Nya di hari tiada naungan selain naungan-Nya.” (HR. At Tirmidzi dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu dan dishahihkan Al Albani dalam Shahihut Targhib no. 909).
Subhanallah, keutamaan yang besar. Di dalam hadits yang lain Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُنْجِيَهُ اللَّهُ مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلْيُنَفِّسْ عَنْ مُعْسِرٍ أَوْ يَضَعْ عَنْهُ
“Barang siapa yang suka Allah menyelamatkannya dari kesusahan-kesusahan di hari kiamat nanti, maka hendaknya ia memberikan masa tangguhan kepada oerang yang sedang kesulitan atau bahkan ia membebaskannya.” (HR. Muslim dari shahabat Abu Qatadah radhiallahu anhu).
Benar, di hari kiamat nanti kita akan menjumpai banyak hal yang sangat mencekam dan menakutkan. Hal-hal tersebut sangatlah memberatkan dan menyusahkan kita. Nah, di antara hal yang bisa meringankan kita ketika menjumpai hal-hal tersebut ialah apa yang beliau sampaikan dalam hadits di atas.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam mendoakan orang yang seperti ini agar ia mendapatkan rahmat-Nya. Beliau shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Semoga Allah merahmati seseorang yang bersifat lapang jika menjual, lapang jika membeli, dan lapang jika menagih utang.” (HR. Al Bukhari dari shahabat Jabir bin Abdillah radhiallahu anhuma).
Di antara faedah yang dapat kita ambil dari kisah di atas ialah kaidah yang sering disebutkan oleh para ulama bahwa “al jaza’u min jinsil ‘amal” yang maknanya bahwa balasan tu sejenis dengan amalannya. Orang ini, ketika di dunia suka menggugurkan tanggungan manusia kepadanya, maka Allah pun membalasnya dengan yang semisal dengan Allah gugurkan pula dosa-dosanya.
Faedah yang lain yang bisa kita ambil dari kisah di atas ialah bahwa jalan kebaikan sangatlah banyak dan beragam. Seorang muslim, semakin bertambah ilmu yang ia miliki, maka akan semakin jelas dan nampak pula baginya betapa banyaknya jalan-jalan kebaikan.
Benar, ilmu merupakan pokok dan asal dari berbagai amal shalih. Ketika demikian adanya, maka seorang muslim, sifat yang harus ada padanya, ialah bersungguh untuk terus mengajak jiwanya dalam menuntut ilmu bermanfaat. Kemudian, setelah ia mendapatkannya, ia pun selanjutnya mengamalkannya. Dan beramal inilah tujuan dalam menuntut ilmu. Bukan untuk sekedar memperkaya wawasan ilmunya, akan tetapi sejak dari awal telah bertekad dan berniat akan mengamalkan apa pun yang ia pelajari.
Jangan pernah menganggap remeh amalan ibadah walaupun kecil. Ingat selalu, bahwa kebaikan yang diajarkan syariat ini, sekecil apa pun, jika dilakukan ikhlas dalam pelaksanaannya, pastilah akan dicatat dan diperhitungkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Sebaliknya, satu keburukan dan dosa, sekecil apa pun, juga Allah subhanahu wa ta’ala catat dan perhitungkan. Hanya saja, satu kebaikan akan dilipatgandakan sebanyak-banyaknya oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Sementara, keburukan hanyalah ditulis sesuai dengan kadar besar kecilnya keburukan tersebut, tidak ditambah apalagi dilipatgandakan. Maka, kerugian yang teramat besar ketika ternyata, keburukan yang hanya ditulis “satu demi satu” bisa mengalahkan kebaikan yang pahalanya dilipatgandakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Akan tetapi, bukan berarti kemudian kita mencukup-cukupkan diri dengan melakukan amalan yang kecil-kecil dan kemudian tidak pernah berusaha melakukan amalan yang bernilai besar. Ingat, seorang muslim tidak akan pernah merasa puas atas apa pun yang telah ia amalkan. Ia akan terus berusaha memperbaiki dan terus bergerak hingga titel “hamba” Allah pun benar-benar telah ia sandang. Seorang muslim akan selalu mengusahakan dirinya berada dalam level tertinggi paling diridhai oleh Allah untuknya.
Faedah yang lain yang dapat kita petik ialah betapa rahmat Allah yang besar. Kita perhatikan kisah tadi, Rasulullah shalallahu alaihi wa salla menyebutkan bahwa ia tidak memiliki kebaikan apapun selain perbuatan ini. Tentu, sebagai seorang manusia, ia pastilah memiliki kesalahan dan dosa, yang mungkin saja, dosanya sangat banyak. Lalu, bagaimana mungkin ia diampuni. Ya, karena rahmat Allah semata. Allah merahmati dia hingga ia pun dimasukannya ke dalam surga.
Faedah yang lain yang dapat kita petik ialah bahwa terkadang amalan yang kecil bisa memasukkan manusia ke dalam surga. Dan terkadang, amalan yang kecil mampu menggugurkan dosa-dosa manusia. Tentu, semuanya kembali kepada rahmat Allah semata.
Kisah di atas juga merupakan salah satu contoh bukti nyata dari firman Allah
هَلْ جَزَاء الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ
yang artinya, “Dan tidaklah balasan perbuatan baik itu kecuali kebaikan pula.” (QS. Ar Rahman: 60)
Ayat di atas menerangkan bahwa jika kita menanam kebaikan, maka kita pun akan memanen kebaikan pula. Jika kita terlewatkan dari kebaikan tersebut ketika di dunia, maka kebaikan itu tidak akan meninggalkan kita di akhirat kelak.
Secara umum, kisah di atas memberikan faedah anjuran memberikan jalan keluar kepada orang yang sedang kesulitan. Dalam hal apa pun. Dalam kisah di atas secara khusus berkaitan dengan masalah utang piutang. Dalam perkara apa pun, jika kita menjumpai saudara kita mendapatkan suatu kesulitan dan kita mampu untuk memberikan jalan keluar dari permasalahannya, maka hendaknya kita memberikan padanya jalan keluar dari permasalahannya walaupun itu hanya sekedar berupa nasehat dan pemberian solusi.
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barang siapa memberikan jalan keluar dari suatu permasalahan dunia yang menimpa seseorang muslim, maka Allah pun akan memberikan padanya jalan keluar dari permasalahan yang kelak akan menemuinya di hari kiamat.” (HR. Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu).
TIGA PERINGATAN
Peringatan pertama: Hendaknya bagi setiap muslim untuk tidak bermudah-mudah dalam berutang dengan utang dari bank-bank lebih-lebih dengan riba. Jangan sampai utang menjadi kebiasaannya. Ia harus berusaha menjauhkan diri dari jerat-jerat utang. Perlu untuk kita pahami, bahwa utang haruslah dibayar. Jika di dunia tidak mampu untuk membayar, maka di akhirat pun utang itu akan dimintai pertanggungjawaban. Utang itu akan dilunasi di mana pahala kitalah yang akan dipindahkan kepada orang yang kita utangi. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِيَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ
“Barang siapa mati dan memiliki tanggungan utang dinar ataupun dirham, maka ia akan dilunasi dengan pahala kebaikannya. Karena di akhirat tiada lagi manfaat dinar ataupun dirham.” (HR. Ibnu Majah dari shahabat Ibnu Umar radhiallahu anhuma dan Syaikh Al Albani mengomentari hadits ini dalam Shahihut Targhib no. 1803, “Hasan shahih.”)
Hadits di atas dengan tegas memberitakan bahwa utang kita yang tidak sempat kita bayarkan, maka di akhirat akan dilunasi dengan memberikan pahala yang kita punya kepada orang yang kita utangi. Semakin banyak utang yang tidak kita bayar, akan semakin banyak pula pahala kita yang terkurangi. Dan jika pahala kita sudah habis, maka dosa orang yang kita utangi akan dilemparkan kepada kita.
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
أَيُّمَا رَجُلٍ يَدِينُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لَا يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِيَ اللَّهَ سَارِقًا
“Tidaklah seseorang berutang dengan niatan tidak melunasinya, melainkan ia akan menghadap Allah dalam keadaan teranggap sebagai seorang pencuri.” (HR. Ibnu Majah dan al Baihaqi dari shahabat Shuhaib al Khair radhiallahu anhu dan Syaikh Al Albani mengatakan dalam Shahih Targhib no. 1802, “Hasan lighairihi.”)
Dalam hadits yang lain Rasulullah juga bersabda:
مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِيءٌ مِنْ ثَلَاثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنْ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ
“Barang siapa yang ruhnya meninggalkan jasad dalam keadaan ia terlepas dari tiga hal, maka ia berhak masuk surga. Tiga hal itu ialah ghulul (mengambil rampasan perang sebelum pembagiannya), utang, dan sombong.” (HR. At Tirmidzi dan Ibnu Majah dari shahabat Tsauban radhiallahu anhu dan dishahihkan Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih Targhib no. 1798).
Hadits-hadits di atas mengandung ancaman bagi orang yang menyepelekan permasalahan utang. Dan juga tentunya memotivasi kita agar segera melunasi utang. Demikian pula bagi orang-orang yang memiliki utang untuk benar-benar memperhatikan utangnya, dan ia pun hendaknya mempersaksikan dan mewasiatkan keluarganya untuk melunasinya dengan harta warisan yang ia miliki atau dibayarkan oleh keluarganya. Demikian pula keluarganya, jika ia mendapatkan wasiat seperti itu maka hendaknya ia segera melunasinya. Sehingga ia pun benar-benar terlepas dari tanggungannya.
Peringatan kedua, bagi orang yang berutang dan ia mampu melunasinya, diharamkan baginya untuk melakukan mumathalah. Mumathalah maknanya menahan harta yang menjadi hak orang yang ia utangi. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam menjelaskan bahwa:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
“Perbuatan mumathalah dari orang yang kaya termasuk perbuatan zalim.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu) Ya, perbuatan mumathalah merupakan kezaliman yang tentunya nanti di hari kiamat pelakunya akan dibalas oleh Allah.
Dalam hadits yang lain, beliau shalallahu alaihi wa sallam mengungkapkan:
“Siapa yang menahan harta yang menjadi tanggungannya padahal ia mampu, halal kehormatannya dan dihukum.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Targhib no: 1815)
Orang yang melakukan hal yang demikian, maka halal kehormatannya. Yakni, disebarluaskan kelakuannya sehingga orang-orang bisa menjauhinya agar tidak lagi bertransaksi dengannya. Sedangkan hukuman, Ibnul Mubarak rahimahullah menafsirkan, “Hal untuk dipenjara.”
Peringatan ketiga, diutamakan mengikhlaskan utang tentunya bagi mereka yang pantas untuk diberi kemudahan. Karena kondisi ekonomi yang memang sulit atau karena hal lain. Adapun orang yang Mumathalah, maka tidak pantas mereka diberi kemudahan.
Inilah tiga peringatan yang perlu untuk disampaikan. Tentunya masih banyak hal yang belum terbahas dalam bab utang piutang. Maka kita bisa senantiasa memohon kepada Allah agar ia selalu membimbing kita dan menyelamatkan kita dari segala hal yang menggelincirkan. Wallahu a’lam.
Sumber: Majalah Qudwah Edisi 13 Vol 2 1435 H/2013 M hal 40 – 46.