Dalam sejarah Islam generasi awal kita mengenal shahabat nabi yang namanya Abdullah. Ada Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amr bin Al Ash dan lain-lain. Mereka semua termasuk sahabat nabi dan tokoh panutan di bidangnya masing-masing.
Namun kali ini kita akan sedikit berbicara tentang Ibnu Abbas. Sebuah nama untuk Abdullah bin Abbas agar terbedakan dengan Abdullah yang lain sebagaimana tersebut di atas. Dan selain seorang sahabat nabi, beliau juga merupakan saudara sepupu Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Karena ayahanda beliau yaitu Al-Abbas merupakan paman Nabi sekaligus seorang shahabat Nabi radhiallahu anhum.
Dari sini nanti kita nyambung dengan sejarah daulah Abbasiyyah? Pernah denger kan kekhilafahan Daulah Abbasiyyah? Lalu apa hubungannya dengan Ibnu Abbas dan ayahnya? Dari sosok inilah salah satu kunci agar kita semakin paham keterkaitan tersebut.
Benar, peletak dasar Daulah Abbasiyyah yang bernama Muhammad adalah cucunya Ibnu Abbas. Jika disebutkan nasabnya yaitu; Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Al Abbas. Semakin jelas lagi, Ibrahim bin Muhammad yang ditangkap oleh Marwan bin Muhammad; khalifah terakhir bani Umayyah itu adalah cicitnya Ibnu Abbas. Kemudian saudaranya Ibrahim; yaitu Abdullah bin Muhammad yang berkuniah dengan Abul Abbas inilah yang kemudian dikenal sebagai khalifah Abbasiyyah pertama.
Makanya tidak heran kan jika daulah tersebut dikenal dengan nama Daulah Abbasiyyah? Oke, kita tinggalkan dulu persoalan di atas. Kali ini yuk kita simak terlebih dahulu kisah tentang Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Artikel di bawah ini aslinya ditulis oleh Ustadz Hamzah bin Rifai.
Image by Igor Ovsyannykov from Pixabay
Ibnu Abbas, Pemukanya Ahli Fiqih dan Tafsir
Sepuluh tahun semenjak diutusnya Nabiyullah Muhammad shalallahu alaihi wa sallam menjadi seorang Rasul. Paman beliau al-Abbas bin Abdul Muththalib dikaruniai oleh Allah subhanahu wa ta’ala seorang putra. Seorang jabang bayi yang baru dilahirkan ini kemudian diberi nama Abdullah oleh al-Abbas sebagai ayahnya. Abdullah bin Abbas bin Abdul Muththalib demikianlah nama lengkapnya. Sepupu Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.
Tumbuh dalam didikan keluarga besar yang sangat dekat dengan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam telah menjadikannya anak yang berakal dewasa. Dengan keutamaan dari Allah subhanahu wa ta’ala, Ibnu Abbas radhiallahu anhuma terpilih sebagai seorang yang pandai, cerdas, dan mendalami keilmuannya. Bahkan melebihi anak-anak seusianya. Ditambah lagi dengan doa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam yang terijabahi. “Ya Allah pahamkanlah dirinya dalam agama dan ajarkanlah kepadanya ilmu tafsir.” Tentu, pantas beliau mengungguli anak seusianya.
Gelar sebagai seorang pemuka para fuqaha sekaligus pemuka Ahli Tafsir tidak berlebihan untuk beliau sandang. Dalam tempo yang singkat, di usia yang masih belia, telah banyak prinsip-prinsip dasar keimanan yang beliau pelajari dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Bahkan Nabiyullah Muhammad shalallahu alaihi wa sallam berkomunikasi bersama Ibnu Abbas radhiallahu anhuma tidak berbeda sebagaimana berbicara bersama orang yang telah dewasa. Perhatikanlah penuturan Ibnu Abbas radhiallahu anhuma ketika sedang bersama Nabi shalallahu alaihi wa sallam.
“Kisra telah menghadiahkan seekor bighal (persilangan antara keledai dan kuda, red) kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam hingga dalam suatu kesempatan, beliau menungganginya dan memboncengkanku di belakangnya. Beliau berkata, ‘Nak!’ Aku menjawab, ‘Aku mendengarmu wahai Rasulullah.’ Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam berkata, ‘Jagalah agama Allah niscaya Allah akan menjagamu, jagalah agama Allah niscaya engkau akan dapati Allah ada di hadapanmu. Ingatlah Allah ketika sedang lapang, niscaya Allah akan menolongmu ketika sulit. Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah. Jika engkau memohon pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah’.” Demikianlah penggalan percakapan antara Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersama Ibnu Abbas.
Berapakah kiranya umur Ibnu Abbas ketika mendapatkan wejangan besar tersebut dari Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam? Padahal, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam wafat ketika Ibnu Abbas masih berumur 13 tahun.
Sepertinya kita harus mengintip cara didik, Al-Abbas sebagai seorang ayah bagi Abdullah. Abu Bakr bin Murdawaih menceritakan dengan sanadnya. Bahwa Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bercerita, “Ayahku Al-Abbas memerintahkankau agar bermalam di rumah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam untuk mempelajari tata cara shalat beliau di dalam rumahnya. Rasulullah shalallahua alaihi wa sallam shalat Isya’ bersama jama’ah. Hingga, masjid kosong tidak ada lagi seorang pun di dalamnya kecuali beliau. Beliau bangkit dan melewatiku, sambil mengatakan (karena gelap), ‘Siapa ini? Apakah Abdullah?’ Aku menjawab, ‘Iya.’ Beliau berkata, ‘Ada perlu apa?’ Aku menjawab, ‘Ayahku memintaku untuk bisa bermalam bersama engkau malam ini.’ Beliau berkata, ‘Ikutlah, ikutlah.’ Ketika Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam masuk rumah, kemudian beliau perintahkan istrinya (Maimunah, bibi Ibnu Abbas radhiallahu anhuma) untuk menggelar alas tidur bagi Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Kemudian dibawakanlah bantal yang terbuat dari bulu. Kemudian Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam tidur sampai terdengar dengkuran tipisnya.” Kemudian Ibnu Abbas menceritakan panjang kejadian malam tersebut bersama Rasulullah dan shalatnya.
Dalam kejadian yang lain, kita akan dibuat takjub dengan kesungguhan beliau dalam menuntut ilmu. Sebagaimana kawan-kawan seusianya juga merasa takjub dengannya. Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menuturkan, “Sepeninggal Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, aku berkata kepada seorang pemuda dari Anshar. ‘Marilah kita bertanya kepada shahabat-shahabat Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, karena jumlah mereka sekarang masih sangat banyak.’ Pemuda Anshar ini kemudian menjawab, ‘Aneh sekali kamu ini wahai Ibnu Abbas. Apakah engkau mengira manusia akan membutuhkanmu, dalam kondisi para shahabat Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam sedemikian banyaknya sebagaimana engkau saksikan?’ Pemuda Anshar tadi meninggalkan kebaikan ini, dan aku bersegera untuk bertanya kepada para shahabat Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Sampai suatu saat, aku mendengar ada sebuah hadits yang datang dari seorang shahabat. Kemudian aku menghampiri rumahnya, ternyata penghuninya sedang istirahat siang. Kemudian aku bentangkan mantelku sebagai bantal, aku berbaring di depan pintunya, hingga angin menerpa wajahku beserta debu yang bersamanya. Shahabat Nabi tersebut kemudian keluar setelah selesai dari istirahat siangnya. Dia melihatku seraya berkata, ‘Wahai sepupu Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, tidakkah engkau menyuruh seseorang untuk memintaku datang, tentu aku akan mendatangimu?’ Aku menjawab, ‘Tidak, saya lebih pantas untuk menemuimu.’ Kemudian aku bertanya kepadanya dan mengambil ilmu darinya.”
Tidak salah Amirul Mukminin Umar bin Al Khaththab radhiallahu anhu menggelari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma sebagai “Anak berakal dewasa.” Mari kita lihat kisah yang dituturkan oleh Ibnu Abbas sendiri.
“Suatu ketika Umar mengajakku masuk bermajelis musyawarah bersama para tetua pemuka Badar. Sekilas mereka menyembunyikan sesuatu dalam hati mereka tentang kehadiranku. Kemudian salah seorang di antara mereka berkata, ‘Mengapa engkau menyertakan anak ini, padahal kami juga memiliki anak-anak seusianya?’ Maka Umar menjawab, ‘Sesungguhnya anak ini memiliki kelebihan sebagaimana yang telah kalian ketahui.’ Hingga kemudian suatu hari, Umar menyertakanku dalam majelis mereka. Aku mengetahui, bahwa tidaklah Umar menyertakanku kecuali dalam rangka untuk menunjukkan kelebihanku di hadapan mereka. Kemudian Umar berkata, ‘Apa pendapat kalian tentang ayat ini:
‘Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.’ (QS. An-Nashr: 1-3)
Maka sebagian mereka mengatakan, ‘Kita diperintahkan untuk banyak memuji Allah, memohon ampun kepada-Nya. Ketika kita mendapatkan pertolongan dan kemenangan.’ Dan sebagian yang lainnya terdiam dan tidak mengucapkan apa pun. Kemudian Umar radhiallahu anhu berkata kepadaku, ‘Apakah demikian menurutmu wahai Ibnu Abbas?’ Aku menjawab, ‘Tidak.’ Umar berkata, ‘Maka bagaimana menurutmu?’ Aku menjawab, ‘Itu adalah berita dekatnya ajal Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam yang Allah kabarkan kepada beliau’.” Kemudian Ibnu Abbas membacakan ayat (artinya) “Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangan”, maka itulah tanda dekatnya ajalmu. “Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu, mohonlah ampunan kepadanya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat.” Kemudian Umar radhiallahu anhu berkata, ‘Tidaklah aku mengetahuinya kecuali semisal dengan apa yang engkau katakan.”
Abu Shalih, salah seorang dari murid sekaligus sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bercerita, “Sungguh aku telah melihat majelis Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Seandainya seluruh orang Quraisy mau berbangga diri, maka cukuplah itu menjadi suatu kebanggaan (karena Ibnu Abbas radhiallahu anhuma adalah seorang Quraisy, red). Aku melihat manusia berkumpul didepan pintunya sampai sesak jalanan di depan rumahnya, tidak ada seorang pun yang mampu untuk masuk, tidak pula seorang pun bisa keluar. Kemudian aku beritakan keadaan di depan pintu kepada Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Ibnu Abbas radhiallahuma berkata, ‘Bawakanlah untukku sebaskom air wudhu.’ Kemudian beliau berwudhu dan duduk. Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, ‘Keluarlah kamu dan panggilkan mereka yang akan bertanya tentang Al Qur’an beserta tafsirnya.’ Maka aku keluar dan aku mengumumkannya. Kemudian mereka masuk sampai penuh sesak rumahnya. Tidaklah seorang pun dari mereka yang bertanya kecuali Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menjelaskannya. Ibnu Abbas berkata, ‘Berikan kesempatan saudar-saudara kalian lainnya.’ Maka mereka keluar agar saudara-saudara lainnya bisa masuk. Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, ‘Keluarlah engkau dan panggil siapa saja yang ingin bertanya tentang halal dan haram.’ Aku keluar dan mengumumkannya. Kemudian mereka masuk sampai penuh sesak rumahnya. Tidaklah seorang pun dari mereka yang bertanya kecuali Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menjelaskannya. Ibnu Abbas berkata, ‘Berikan kesempatan saudara-saudara kalian lainnya.’ Kemudian mereka keluar. Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, ‘Keluarlah engkau dan panggil siapa saja yang ingin bertanya tentang ilmu waris.’ Aku keluar dan mengumumkannya. Kemudian mereka masuk sampai penuh sesak rumahnya. Tidaklah seorang pun yang bertanya kecuali Ibnu Abbas menjelaskannya. Ibnu Abbas berkata, ‘Keluarlah engkau dan panggil siapa saja yang ingin bertanya tentang Bahasa Arab dan sya’ir.’ Maka aku mengumumkannya, kemudian mereka masuk sampai penuh sesak. Tidaklah seorang pun yang bertanya kecuali Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menjelaskannya.”
Menceritakan perjalanan hidup Ibnu Abbas terasa seperti tidak ada ujung pangkalnya. Panjang, sulit dicari tepiannya. Seluas ilmu yang Allah karuniakan untuknya. Ibnu Abbas radhiallahu anhuma adalah lautan ilmu. Seperti yang dikatakan oleh al-Qasim bin Muhammad, “Tidaklah aku mendengar satu pun kebatilan dalam majelisnya, dan tidak pula aku melihat seseorang yang berfatwa serupa dengan Sunnah melebihi fawa Ibnu Abbas.”
Ibnu Abbas adalah seorang pemuda berakal dewasa, lisan yang senang bertanya, dan hati yang bijak. Itulah pujian Umar bin Al Khatthab kepadanya.
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma bercerita, “Suatu hari beliau thawaf bersama Muawiyah bin Abi Sufyan di Ka’bah. Kemudian Muawiyah menyentuh semua pojok Ka’bah. Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata kepadanya, “Mengapa engkau juga menyentuh dua pojok yang lainnya (selain Hajar Aswad dan Rukun Yamani?) Padahal dahulu Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam tidak menyentuhnya (ketika thawaf). Kemudian Muawiyah menjawab, “Tidak ada sedikit pun dari bagian Ka’bah yang terlarang.” Maka Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menjawab, “Sungguh pada diri Rasulullah terdapat uswah yang baik bagi kalian.” Maka Muawiyah menjawab, “Engkau benar.”
Teladan yang istimewa untuk kita semua, agar bersungguh-sungguh dalam memperdalam ilmu agama sebagaimana dicontohkan oleh Ibnu Abbas, ulama pelita umat ini!
Wa shallallahu ala Muhammad Wa Ala alihi Wa Sahbihi Wa sallam katsira.
Sumber: Majalah Qudwah Edisi hal. 17 Vol. 2 1435 H/ 2014 M hal. 12-15