Istilah Ahlus Sunnah wal Jama'ah sering kita dengar meskipun melalui obrolan sesama teman. Akan tetapi mungkin masih banyak yang mengaitkan hal tersebut dengan perkara furu' (fikih). Seperti halnya ketika dihadapkan dengan perkara qunut shubuh secara terus menerus. Padahal istilah Ahlus Suunah itu terkait perkara ushul (pokok).
Sedangkan masalah qunut dalam shalat shubuh termasuk fikih yang semua orang mesti berlapang dada dengan segala macam perbedaannya.
Dengan kata lain, perkara fikih itu tidak bisa dijadikan tolak ukur seseorang sebagai Ahlus Sunnah. Karena secara ilmu maupun fakta sejarah pun membuktikan hal tersebut. Sebagai contoh yang bisa disebut adalah Imam Syafi'i dengan Imam Ahmad yang notabene antara guru dan murid. Begitu juga antara Imam Syafii dengan Imam Malik sebagai murid dan guru.
Gambar oleh Fauzan My dari Pixabay
Sebagaimana dimaklumi bersama imam kaum muslimin di atas berbeda dalam masalah fikih. Akan tetapi, meskipun demikian mereka tetap satu aqidah di atas Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Dan hubungan diantara mereka pun baik-baik saja. Dan kisah kelembutan hubungan diantara mereka sangat banyak. Meskpun tidak banyak para ustadz dan kiyai yang menceritakannya.
Untuk itu, melalui media blog gratisan ini saya ingin membagikan sebuah tulisan dari seorang ustadz. Tulisan ini membahas sebuah ungkapan salah seorang ulama zaman dahulu. Saya yakin, pembahasan ini termasuk yang dibutuhkan oleh umat. Meskipun bahasan ini tidak membahas secara tuntas dari A - Z, akan tetapi mudah-mudahan menjadi batu loncatan untuk memahami permasalahan lain yang terkait.
Tertarik dengan bahasan kali ini? Simak tulisan di bawah ini oleh Al-Ustadz Abu ‘Amr Alfian dengan tema penjelasan: "Islam adalah Sunnah dan Sunnah adalah Islam." Oh iya, tulisan ini dicuplik dari majalah Qonitah edisi lama yang saat ini menjadi koleksi pribadi.
Islam adalah Sunnah dan Sunnah adalah Islam
Barangkali sebagian pembaca muslimah mengernyitkan dahi ketika membaca judul di atas. Bukankah sunnah adalah sesuatu yang apabila dikerjakan pelakunya mendapat pahala, dan orang yang meninggalkannya tidak berdosa, alias “tidak wajib”, seperti shalat sunnah, puasa sunnah, dll? Mengapa dikatakan bahwa Islam adalah sunnah? Apakah Islam itu tidak wajib? Demikian mungkin keheranan yang hinggap di benak.Memang benar, yang terkenal di kalangan fuqaha (ahli fikih), kata sunnah digunakan antara lain untuk suatu amalan yang hukumya tidak wajib, sebagaimana tersebut di atas. Kata sunnah untuk pengertian tersebut sering digunakan sebagai sinonim kata mustahab atau mandub.
An Nawawi rahimahullah berkata, “Sejumlah fuqaha dari mazhab kami mengatakan bahwa dalam ushul fikih, kata-kata sunnah, mandub, tathawwu’, nafilah, al-muraghghab fihi dan mustahab bermakna sama, yaitu sebuah amalan yang lebih ditekankan/dianjurkan untuk diamalkan, dan orang yang meninggalkannya tidak berdosa.” (Tahdzibul Asma’ wa Lughat 2/156).
Contohnya, shalat sunnah rawatib disebut sebagai shalat sunnah atau shalat nafilah; hukumnya sunnah atau mustahab. Demikian pula shalat dhuha, puasa Senin dan Kamis, sedekah, dan lainnya.
Namun, apabila kita telisik lebih jauh pengertian kata as-Sunnah sebagaimana yang digunakan oleh para ulama dalam kitab-kitab mereka, kita akan mendapat kejelasan yang lebih mendalam. Kata sunnah terkadang dimaknakan lebih luas, karena secara bahasa, sunnah bermakna thariqah (jalan), baik “jalan yang baik” maupun “jalan yang jelek”. Tentu saja, apabila konteksnya adalah sunnah Nabi, yang dimaksud adalah “jalan yang baik.”
Para ulama juga menyebut hadits-hadits yang diriwayatkan dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam sebagai sunnah. Oleh karena itu, an-Nawawi rahimahullah berkata, “As-Sunnah adalah sunnah Nabi shalallahu alaihi wa sallam. Makna asalnya adalah thariqah (jalan). Kata sunnah digunakan untuk menyebutkan hadits-hadits yang diriwayatkan dari Nabi shalallahu alaihi wa sallam.” (Tahdzibul Asma’ wal Lughat 2/156).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَنزَلَ اللّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
“…..dan (karena) Allah telah menurunkan al-Kitab dan al-Hikmah kepadamu.” (QS. an-Nisa’[4]: 113)
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa makna al-Hikmah adalah as-Sunnah.
Allah subhanahu wa ta’ala menamakan sabda-sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam sebagai wahyu dalam firman-Nya,
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىإِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. an-Najm[53]: 3-4).
Ditilik dari makna ini, as-Sunnah adalah salah satu dari dua wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam. Dengan demikian, “Islam adalah Sunnah” maknanya bahwa salah satu landasan agama Islam adalah as-Sunnah.
Lebih luas lagi tentang pengertian as-Sunnah, al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan, “As Sunnah adalah ath-thariqah (jalan) yang ditempuh. Pengertian tersebut meliputi makna berpegang pada segala sesuatu yang Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dan al-khulafa ar-rasyidin berada di atasnya, baik berupa keyakinan, amalan, maupun ucapan. Inilah sunnah yang sempurna.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 2/120).
Jadi, as-Sunnah adalah segala yang dibawa dan diajarkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, baik berupa akidah, cara beridabah, bermuamalah, akhlak, adab, sikap, maupun yang lainnya. Demikian pula halnya yang diajarkan oleh al-khulafa ar-rasyidin. Makna inilah yang ditunjukkan oleh sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفاَءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِيْ تَمَسَّكُوْا بِهاَ وَعَضُّوْا عَلَيْهاَ بِالنَّوَاجِذِ،
“Maka dari itu, wajib atas kalian berpegang pada Sunnahku dan Sunnah al-khulafa ar-rasyidin sepeninggalku. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Dawud no. 4607, at-Tirmidzino. 2676, dan Ibnu Majah no. 43).
Oleh karena itu, semua yang dibawah dan diajarkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam adalah Sunnah. Telah dimaklumi bahwa yang beliau bawa dan ajarkan tidak lain adalah agama Islam.
- Makna ungkapan “Islam adalah Sunnah” adalah bahwa agama Islam yang sempurna ialah yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam kepada umat beliau, sedangkan ajaran beliau tidak lain adalah Sunnah beliau. Inilah Islam yang benar, yang berjalan di atas Sunnah beliau shalallahu alaihi wa sallam, bukan Islam yang dipahami oleh kelompok sempalan atau organisasi tertentu, karena kepentingan politik tertentu, atau menurut tokoh tertentu. Namun, Islam yang benar adalah Islam yang selaras dengan Sunnah Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam, baik dalam hal keyakinan, ibadah, akhlak, muamalah, etika, maupun yang lainnya (yakni tuntunan beliau secara utuh).
- Maksud ungkapan “Sunnah adalah Islam” adalah segala yang beliau ajarkan itulah agama Islam. Beliau tidaklah berucap dan berbuat melainkan dengan bimbingan wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala. Maka dari itu, Sunnah beliau itulah agama Islam.
فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Barang siapa berpaling dari Sunnahku, dia bukan dari golonganku.” (HR. al-Bukhari no. 5063).
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud as-Sunnah adalah thariqah (jalan), bukan sunnah dalam pengertian lawan dari wajib. Adapun maksud ‘bukan golonganku’, apabila seseorang berpaling karena melakukan takwil (pemaknaan yang keliru), dia masih dimaafkan dan tidak keluar dari agama. Apabila dia berpaling karena menentang dan hendak bersikap ekstrem yang mengantarkan pada keyakinan bahwa amalannya lebih baik (daripada amalan Nabi shalallahu alaihi wa sallam), maka ‘bukan golongku’ maksudnya adalah ‘bukan di atas agamaku’. Sebab, keyakinan tersebut adalah bentuk kekufuran.” (Fathul Bari, penjelasan hadits no. 5063).
Dari penjelasan di atas, sangat tepatlah ungkapan al-Imam Bisyr bin al-Harits, “Islam adalah Sunnah dan Sunnah adalah Islam.”
Tidak akan Bisa Ber-Islam tanpa Berpegang pada as-Sunnah
Setelah kita memahami makna “Islam adalah Sunnah dan Sunnah adalah Islam”, sangat jelaslah bagi kita bahwa Islam dan Sunnah saling terkait, tidak akan bisa tegak salah satunya tanpa yang lain. Islam yang sempurna tidak akan terwujud tanpa Sunnah. Demikian pula Sunnah, tidak akan memiliki makna tanpa Islam. Seseorang tidak akan bisa ber-Islam apabila tidak berpedoman pada Sunnah Nabi shalallahu alaihi wa sallam. Agar hal ini lebih mudah dipahami, bisa dijelaskan sebagai berikut.- Syahadatain (Dua Kalimat Syahadat)
Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam diperintah untuk menegakkan
dua kalimat syahadat. Beliau shalallahu alaihi wa sallam bersabda,أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ
“Aku diperintah untuk memerangi manusia hingga mereka mau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka mau melaksanakan itu semua, terjagalah darah dan harta mereka, kecuali dengan hak Islam. Adapun hisab (perhitungan) mereka ada di sisi Allah.” (HR. al-Bukhari no. 25 dan Muslim no. 36).
Seseorang tidak dikatakan mukmin hingga bersaksi dua syahadat tersebut. Orang yang telah bersaksi dengan syahadat laa ilaha illallah, tetapi tidak mau bersaksi dengan syahadat Muhammad Rasulullah belum dikatakan sebagai orang yang beriman. Dengan syahadat laa ilaha illallah, seseorang telah bertauhid kepada Allah. Dengan syahadat Muhammad Rasulullah, seseorang telah berpegang pada Sunnah Muhammad shalallahu alaihi wa sallam dalam hal beribadah kepada Allah. Sebab, makna dan konsekuensi syahadat Muhammad Rasulullah adalah:
- Menaati segala perintah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam
- Membenarkan segala berita yang beliau sampaikan
- Menjauhi segala hal yang beliau larang dan peringatkan
- Tidak beribadah kepada Allah selain dengan aturan dan tata cara yang beliau ajarkan.
- Al-Qur’an Memerintahkan untuk Menaati As-Sunnah
Banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan agar as-Sunnah ditaati dan diamalkan sebagaimana halnya al-Qur’an ditaati dan diamalkan. Di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulullah, dan ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah dia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (QS. an Nisa’[4]: 59)
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan untuk menaati-Nya, kemudian memerintahkan untuk menaati Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dengan perintah tersendiri. Kemudian, Allah memerintahkan agar ketika terjadi perselisihan, keputusannya dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Hal ini menunjukkan bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah adalah sumber hukum syariat yang wajib diimani, ditaati, dan diamalkan, tanpa dibedakan antara keduanya.
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa barang siapa tidak mau berhukum kepada al-Kitab dan as-Sunnah ketika terjadi perselisihan dan tidak mau merujuk keduanya, dia bukan orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.”
Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan ketaatan kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam sebagai bagian dari ketaatan kepada-Nya, sebagaiaman dalam firman-Nya,
مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللّهَ وَمَن تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظاً
“Barang siapa menaati Rasul, berarti dia tealh benar-benar menaati Allah. Barang siaap berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. an-Nisa’[4]: 80).
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah menjelaskan tentang hamba dan Rasul-Nya, Muhammad shalallahu alaihi wa sallam, bahwa barang siapa menaati beliau, berarti dia telah menaati Allah, dan barang siapa menentang beliau, berarti menentang Allah. Sebab, beliau berkata bukan dari hawa nafsunya. Tidak lain ucapan beliau adalah wahyu yang diturunkan kepada beliau.”
Dalam ayat lainnya Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan,
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah kepada rasul, supaya kalain diberi rahmat.” (Qs. an-Nur[24]: 56).
Dalam ayat di atas Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan dengan perintah tersendiri untuk menaati Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Allah juga menegaskan bahwa ketaatan kepada Rasul-Nya adalah sebab mendapatkan rahmat.
Dalam ayat lainnya Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan bahwa menaati Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam adalah sebab datangnya hidayah.
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِن تَوَلَّوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُم مَّا حُمِّلْتُمْ وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Katakanlah, ‘Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul. Jika kalian berpaling, sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, sedangkan kewajiban kalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepada kalian. Jika kalian mau taat kepadanya, niscaya kalian mendapat hidayah. Tidak lain kewajiban Rasul itu melanikan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang’.” (QS. an-Nur[24]: 54)
Masih banyak lagi ayat al-Qur’an yang semakna. Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa as-Sunnah adalah sumber hukum tersendiri dalam syariat ini, yang wajib ditaati dan diamalkan sebagaimana halnya al-Qur’an. Selain itu, ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa menaati dan mengamalkan as-Sunnah adalah sebab datangnya hidayah dan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala. Sebaliknya, meninggalkan as-Sunnah adalah sebab kesesatan dan terhalangi dari rahmat Allah azza wa jalla.
Oleh karena itu, barang siapa mengatakan bahwa dia hanya mengamalkan al-Qur’an dan tidak mau berpegang pada as-Sunnah, sungguh dia telah mendustakan dan mengingkari al-Qur’an. Sebab, al-Qur’an memerintahkan untuk mengikuti dan menaati Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Barang siapa tidak mau mengikuti dan menaati Rasulullah, berarti dia tidak mengamalkan al-Qur’an dan tidak beriman kepada al-Qur’an. Jadi seseorang tidak boleh mengikuti al-Qur’an saja tanpa as-Sunnah, atau sebaliknya. Al-Qur’an dan as-Sunnah saling terkait, tidak bisa lepas satu sama lain. Bahkan Allah azza wa jalla mengancam orang yang meninggalkan as-Sunnah. Allah azza wa jalla berfirman:
قُلْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَالرَّسُولَ فإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِينَ
“Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian berpaling, sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir’.” (QS. Ali Imran[3]: 32).
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Kemudian, Allah berfirman memerintah setiap manusia baik yang umum maupun yang khusus, (Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian berpaling……), yakni jika kalian menyelisihi perintah beliau, (sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir). Ini menunjukkan bahwa menyelisihi Rasulullah shallahu alaihi wa sallam dalam hal thariqah (metode pemahaman dan aplikasi agama/sunnah) adalah kekufuran. Allah tidak mencintai orang yang bersifat demikian – meskipun dia mengaku mencintai Allah dan senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya – sampai dia mau benar-benar mengikuti Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, nabi yang ummi dan penutup para rasul, sekaligus utusan Allah kepada segenap ats-tsaqalain, yaitu bangsa jin dan bangsa manusia. Seandainya para nabi dan rasul, bahkan para ulul ‘azmi, hidup pada masa beliau, tidak ada kesempatan bagi mereka selain harus mengikuti beliau (Nabi Muhammad) shalallahu alaihi wa sallam dan syariat beliau.”
- Tidak Mungkin Mengamalkan al-Qur’an tanpa as-Sunnah
Banyak ayat al-Qur’an yang tidak bisa kita amalkan tanpa kita berpedoman pada as-Sunnah. Contoh paling mudah adalah ayat:وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Dan tegakanlah shalat dan bayarlah zakat.” (QS. an-Nur[24]: 56).
Bagaimana cara shalat, berapa rakaatnya, dan kapan shalat dilaksanakan? Itulah pertanyaan yang pasti muncul apabila kita diperintah untuk shalat. Maka dari itu, kita tidak akan bisa melaksanakan perintah Allah subhanahu wa ta’ala dalam ayat tersebut tanpa berpedoman pada ajaran dan bimbingan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.
Pada suatu hari, sahabat mulia bernama ‘Imran bin Hushain radhiallahu anhu menyampaikan hadits-hadits Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Tiba-tiba, seorang pria memprotes, “Berilah kami ayat-ayat al-Qur’an saja!”
‘Imran pun marah mendengarnya seraya mengatakan, “Sungguh, engkau orang yang dungu! Allah menyebutkan perintah zakat di dalam al-Qur’an, tetapi dimanakah ketentuan bahwa pada tiap 200 ada jatah 5 dirmah (yakni ketentuan 2.5%)? Allah menyebutkan perintah shalat dalam al-Qur’an, tetapi dimanakah ketentuan bahwa shalat zhuhur atau asar ada empat rakaat? Allah menyebutkan perintah thawaf dalam al-Qur’an, tetapi dimanakah ketentuan bahwa thawaf di Ka’bah tujuh kali, sa’i antara Shafa dan Marwah juga tujuh kali?! Semua itu hukum yang ditetapkan oleh al-Qur’an dan ditafsirkan (diterangkan) oleh as-Sunnah.” (Lihat Ahadits fi Dzammil Kalam wa Ahlihi 2/81).